Ketika hidup adalah keyakinan dan perjuangan
Allah always with us

Peduli



Aku selalu diprotes oleh beberapa kerabat atau teman, karena bila ada orang bicara seperti tidak mendengarkan. Semacam terlalu cuek, katanya. Padahal aku ingat satu persatu perkataannya, titik komanya, kata per katanya. Ada yg teringat di hari itu saja, ada yg aku bawa jauh ke masa depan. Mengendap dalam sbg pelajaran. Mereka yg berkata itu bahkan tidak sadar, bahwa aku mengingatnya jelas bertahun-tahun lamanya. Aku mengingat siapa2 yg prnh memberiku kesentakan hati, walau raut mukaku kala itu datar macam zombie.

Lalu, entah keyakinan macam apa yg menjangkitiku, bahwa kepedulian bukan semata yg terlihat, entah itu melalui ucap kata atau tindakan manis manja. Kepedulian bagiku adalah memberikan yg terbaik, sebisanya, entah disadari atau tidak, tak begitu penting artinya. Entah diapresiasi atau tidak, sepanjang itu adalah kebaikan, akan berbalik suatu saat, dari arah yg tidak kita ketahui asalnya

Suatu hari, di tengah obrolan random dgn seorang teman, aku makin meyakini bahwa kasih sayang, cinta kasih, termasuk di dalamnya rasa peduli akan makin absurb bila ditunjukkan. Walau dunia masa kini penuh dgn pencitraan. 
Peduli hanyalah ketika kita meminta dapat mampu memudahkan, menghangatkan, menyejukkan, menerangkan dalam sujud-sujud panjang untuk kebaikan seseorang. Walau tak terdengar orang, doa akan melangit di setiap malam, dengan caraNya, Tuhan akan menyampaikan. Aku yakin Tuhan bantu untuk merasakan

Hujan turun perlahan di perjalananku menuju pulang. Jalan tol yg panjang, gelap tanpa penerangan menemaniku dlm kesendirian. Gusmus pernah bilang, sekian banyak yg ingin kukatakan, tak terkatakan. Begitulah aku, tak pandai menyampaikan. Tak lihai berkata macam pujangga bersyair kala purnama. Tercekat bila bertatap muka. Aku mungkin hanya pandai mengingat, akan sentakan hati di masa lampau. Dan berdoa lirih, diam diam

Karena bagiku, sebenar-benarnya kasih sayang adalah doa-doa sepanjang hayat.
Tak putus putus, walau masa telah terlewat.

Cilegon, 16 Agustus 2016 00:48


belajar dan mengajarkan



dan kini aku menemukan jawaban tentang pilihan di masa lampau. ketika usiaku masih terlalu muda, bahwa seorang wanita hendaklah menjadi guru atau dokter. Pilihan yang menurutku terlalu kolot dari para tetua, kini aku menemukan maknanya. bahwa pilihan tinggallah pilihan, bila kita mampu menyeimbangkan keduanya.
begitu pun cerita guru-guruku tentang bagaimana kenikmatan berbagi ilmu. bagaimana menjadi pembuka tabir ilmu bagi generasi setelahnya. membimbing dan mengembangkan. menuai setelah menanam. bukan untuk diri sendiri, namun untuk orang lain. aku pikir apa nikmatnya? dulu saat aku masih terlalu muda.

dan jawaban itu sederhana.
aku bahagia, dengan cara yang sederhana, memberikan apa yang aku punya tanpa merasa kehilangannya.
semoga langkah awal ini, menjadi ladang amal jariyah. sebuah ilmu bermanfaat yang mampu menjadi penolongku di akhirat kelak. aamiin

Cerpen : tentang sederhana


Malam ini aku teringat sesuatu, sebuah diskusi di masa lalu,

"Aku ingin hidup sederhana, menjalani hidup dengan sederhana"

Aku terdiam. Dia melanjutkan.

"Terutama bersama orang yang sederhana, walau dia tau bisa jumawa, entah ilmu atau harta"

Saat itu, aku ingat betul malam itu malam Jumat dan kami duduk di teras. Berdua kami memeluk lutut, berhadapan. Dari atap, tetes hujan mulai terdengar. Aku urungkan niat untuk pulang, dia pun sedikit memaksaku untuk bertahan. Jangan pulang, kamu bisa juga sakit kehujanan, katamu kala itu.

Aku juga ingat, saat itu aku mencelanya dengan 2 kata "terlalu pasrah". Dan 2 kata itu membuka malam menjadi enggan berakhir. Kami beradu pandangan hidup, macam2 filosofi dan cerita masa lalu yang membawa kami pada pemahaman hidup yang kami anut sekarang. Ah, sungguh tak banyak perbedaan. Ada kegetiran yang walau beda tema, selalu ada celah mengisi diantaranya. Layaknya rem dan gas yang berganti peran, menjaga mobil tidak jatuh ke dasar jurang.

Di akhir bicara, kami sepakat bahwa kesederhanaan hidup akan selalu membawa keselamatan. Mencegah hawa nafsu berlari liar tak karuan. Menghindarkan langkah jatuh terperosok dalam. Tapi sederhana tidak berlaku dalam berusaha dan menyebar manfaat. Usaha haruslah mewah agar tercipta manfaat dan kebaikan yang terus menerus mengalir untuk umat.

Sebelum pulang, dia berpesan, setinggi apapun nanti kami terbang, tetaplah hati merendah dan jangan berubah. Aku mengangguk, mengiyakan. Aku melihat matanya, hatiku hangat. Di malam yang sederhana itu, diam-diam aku mengamini doanya.

Dan malam ini, saat waktu sudah melangkah begitu jauh, hatiku bicara,

doa yang sama.

Semoga di langit sana, doa-doa kecil ini, disatukan dalam pertemuan yang sederhana, namun penuh makna.

Ciputat, 25 April 2016  00:39 @maizankn

Kata. Kata


Malam ini seperti biasa tidak bisa memulai tidur dengan baik. Sudah hampir 2 bulan aku kesulitan tidur, entah sudah dapat dikatakan early insomnia atau tidak, namun ini cukup mengganggu mood. Walau beberapa hari terakhir tertolong hot chocolate cadbury dan nulis pretidur, namun bila kegiatanku kembali seperti dulu, tentu early insomnia ini akan sangat mengganggu aktifitas. Semoga siklus ini segera dapat diperbaiki. Aamiin

Okeee..malam ini aku ingin menulis tentang penulis dan menulis. Ya, penulis. Seseorang yang menuliskan sesuatu hal tentang apapun yang tidak dapat dikatakannya dengan suara, namun menjadi untaian kata yang gelegarnya dapat menembus angkasa. Seseorang yang selalu berupaya jujur menyampaikan suatu hal, dengan balutan yang kadang hanya dipandang sebelah mata. Hanya dianggap retorika, rekaan semata atau parahnya disebut drama dusta. Namun, seorang penulis tidak pernah kehilangan ciri khasnya. Mereka, apa adanya. Sederhana.

Seseorang pernah bertanya padaku, mengapa kamu menulis? Apakah tulisanmu bertujuan? Kala itu, aku hanya terdiam. Bukan memikirkan jawaban. Tapi sungguh aku tak memiliki selintas pun jawaban. Hari-hari berikutnya, aku mengulang2 terus pertanyaan itu pada diriku sendiri. Mencoba bertanya apakah yang selama ini aku jalani, memiliki arti? Paling tidak untuk diriku sendiri.

Dan aku menemukannya.
Dengan menulis, aku bahagia.
Aku bahagia karena aku dapat berbagi pikiran yang hanya "umpel2an" di kepala. Aku bahagia karena aku bisa terus menerus belajar dan bertanggungjawab akan tulisan yang telah aku buat. Aku bahagia dapat menyapa orang2 baru yang tak aku kenal sebelumnya. Aku bahagia dapat membuat rekaman bagi orang2 di sekitarku, layaknya film yang terdokumentasikan. Aku bahagia, berbagi rasa dan keresahan untuk kemudian menemukan jawaban di proses perjalanannya.

Dan yang terpenting, aku bahagia karena aku jujur pada diriku sendiri. Aku menemukan jiwaku yang sebelumnya tak pernah aku kenali.

Menjadi seorang penulis, mengajarkanku untuk memiliki kepekaan yang "aneh". Ketika suara peluit kereta terdengar sebagai nada, dan deras hujan berubah menjadi tatap haru perpisahan. Atau warna pelangi yang seakan bernyanyi. Ada kepekaan yang kini dilabeli orang2 sebagai "galau". Tak apalah, label tak berarti apa-apa dibandingkan indahnya proses hati menuju terbitnya sebuah tulisan. Ada pembelajaran tentang gejolak hati, entah patah atau berbunga rekah, para penulis itu mati2an bergulat mengendalikannya dengan anggun. Meraciknya dalam suguhan akhir yang santun.

Selalu ada 2 sisi ketika orang lain memandang sebuah profesi. Begitupun orang melihat penulis. Namun, di balik pro kontra, suka atau tidak suka, mereka akan terus berkarya. Begitupun aku.

Aku akan terus menulis untuk membuktikan bahwa keabadian dapat diciptakan. Bahwa sebuah kata, dapat melesat jauh menembus ruang dan waktu asalnya. Memeluk jiwa yang berjarak agar senantiasa terasa, dekat.

Cilegon, 21 April 2016  23:25  @maizankn

Sumpah Dokter



Dalam hal apa pun, selalu ada awal dan akhir. Selalu ada mulai dan berhenti juga selalu ada pertemuan dan perpisahan. Tanpa terasa, 5.5 tahun sudah aku melewati semua ini. Ketika aku di tahun 2010, memutuskan memilih jalan ini sebagai pengabdian seumur hidupku.

12 September 2013, aku menyelesaikan pendidikan sarjana dan waktu berjalan begitu cepat. 12 April 2016 adalah hari dimana hatiku bergetar begitu hebat. Aku menyelesaikan pendidikan profesi dan membuat janji pada Tuhan. Membuat pengakuan bahwa di seumur hidupku, aku tak pernah mengkhianati kemanusiaan. Sebuah janji yang aku tahu akan sangat berat, namun Tuhan menguatkan bibirku, mengukuhkan bahuku dan menegakkan kepalaku untuk melafalkan "syahadat" untuk para dokter itu. Semoga amanah ini mampu aku jaga sepanjang hayatku. Aamiin.

Ada banyak orang yang menemaniku sepanjang 5.5 tahun ini. Terimakasih, cinta dan hormatku, aku haturkan pada mama dan papa, 2 jagoanku kiki-farhan dan seluruh keluarga besar Tubagus Syafaat. Juga hormatku pada semua guru, konsulen yang pernah berinteraksi dan mengantarkan pada titik ini. Sebuah titik mula untuk terjun di masyarakat sebagai dokter.
Serta sayang yang tak pernah habis pada teman2 seperjuangan yang sama2 menyadari bahwa kita selalu merasa kurang dan akan terus belajar. dr. Fuad Hariyanto, dr.Laila, dr. Dadan, dr. AyuBudi, dr.Putra dan seluruh pejuang UKMPPD UIN batch 1 juga kluarga besar FKUIN 2010 yang telah menjadi rumah pembelajaran yang lengkap. Sangat bangga pernah berjuang bersama kalian, kawan ☺

Ini bukanlah akhir, ini adalah awal dari perjalanan panjang yang tentu akan melelahkan namun pasti akan senantiasa menguatkan. Semoga keselamatan dan keberkahan selalu mengiringi kita. Semoga di setiap harinya kita melaksanakan profesi ini adalah jalan yang akan membawa kita pada surgaNya.

Selamat Sumpah Dokter ke 17
Jadilah dokter muslim yang membumi dan memberi rahmat bagi semesta alam 😊😇

Sisa Bingar Malam


Ada yang mengusikku di tengah malam. Memaksaku membuka lembar kata, mungkin akumulasi dari lelah tanpa suara. Ada debatan panjang yang tak berkesudahan tentang siapa yang benar, tentang bagaimana hidup bisa mengeruk keuntungan dalam - dalam. Ada celotehan bingar tentang keberanian, tentang ya atau tidak, melawan keteguhan penengah yang selalu dilihat sebagai banci lampu merah. Ada bisik-bisik kecil di bangku belakang di tengah menonton dagelan tarik menarik.

Dulu aku begitu ambisius menjalani hidup. Sampai suatu saat di usiaku belum genap angka tujuh belas, Tuhan memukulku telak. Juga saat aku masih terus berlari setelahnya, Tuhan menarikku kencang agar jalanku pelan-pelan, agar tak sering tersandung kerikil di jalanan. Lalu Dia mengirimkan orang yang terus menerus mengingatkanku akan kepasrahan. Tentang bagaimana hati harus dilatih dengan keiklasan bukan melulu mengejar keinginan.

Hidup di dunia ketidakpastian, di dunia kedokteran dimana kita tidak pernah tahu usia orang di hadapan kita berakhir jam berapa, membuatku belajar merunduk, tak tinggi mendongak. Kedokteran, baik ilmu atau proses pendidikannya melatih kita bahwa kelapangan hati harus dibuat seluas lapangan bola. Teringat pula kata sahabat di pagi yang hangat, mengapa pesawat butuh mendarat setelah gagah mengangkasa. Bahwa setinggi apapun terbang, tempat mula kita tetaplah tanah.

Namun, aku masih percaya bahwa kesuksesan adalah perpaduan persiapan dan kesempatan. Bahwa tawakkal haruslah setelah ikhtiar, tentu dengan cara-cara yang benar. Karena tujuan yang baik tidaklah anggun bila di sana sini terdapat banyak noda. Mungkin kali ini, darah jawara seirama dengan denyut nadi para pembaca doa.

Tak apa sesekali berlaku aman, tak melulu melakukan perang. Bukan berarti kita kurang macho dan jantan. Juga tak masalah sesekali berdiri di tengah walau tak perlu sampai mengaku kalah. Perang tak harus bersuara, namun pergi tanpa amunisi memadai, memastikan kita tak akan pernah kembali. Persiapan mutlak dibutuhkan ketika kesempatan belum terbuka. Mubazir namanya, bila tiba-tiba hadir kesempatan, kita kelimpungan tak cukup persiapan.

Hatiku bergejolak. Aku tidak ingin dulu tidur cepat-cepat. Menimbang berat mudharat dan manfaat. Juga gelitik kemashlatan umat. Terlalu banyak pertimbangan, terlalu banyak yang dipikirkan, harusnya aku senang pelajaran penyakit dalam. Hahaha.

Suara burung gagak terdengar mendekat. sudah terlalu larut memang. Tubuh mengajak merebah, mungkin esok pagi, Tuhan kirimkan jawabanNya. Mungkin membolak - balikan jiwa, atau menetapkan asa untuk terus berusaha. Sungguhlah, tak mungkin diri ini mampu hidup jauh dari bimbinganNya. Hanya harapku kemana pun dan kapan pun kaki ini digerakkanNya melangkah, semoga selalu ada berkah yang mengalir di setiap tapak jejaknya. Aamiin

Cilegon, 1 April 2016 - 01:43 @maizankn

Cerpen Coret - Coret Senja


" Ada apa?" Ujarku sambil mengusap wajah, menyembunyikan segenang air mata.
Ia menggeleng, hanya duduk di sampingku. Tangannya menyodorkan sebuah kaleng kopi. Klasik, rasa favoritku. Matahari senja hari itu sepertinya menutup rangkaian hariku dengannya. Aku tak ingin terlihat sedih, biar bagaimana pun juga, kehidupan akan berlanjut. Di jalannya masing-masing.

" Ada apa?" Aku kembali bertanya. Sungguh aku tak mau menutup hari ini di sampingnya. Berdua.
Ia masih terdiam. Memandang jauh, entah apa. Di taman yang selalu tenang ini, aku bisa mendengar jelas helaan nafasnya yang ia eja satu-satu. Ada sesuatu yang sedang ia pikirkan. Matanya tak berbohong. Aku kenal betul.

" Aku mau pulang ya," ujarku beranjak. Aku menahan sesak di dada. Rasanya mau pecah. Aku tak mau mengingatnya. Aku tak mau hari terakhirku di tempat ini dipenuhi dengan bayang wajahnya. Walau aku sangat mengingini, tapi aku tahu di hari esok hal ini akan menyakiti. Aku pandai mengenang, aku tak mau hidup dalam ingatan. Terutama kebersamaan dengannya.

Tanganku tertahan. Aku refleks melepaskan. Wajahnya berpaling. Aku berusaha tegar, juga bersikap wajar.
" Ada apa?" Sekali lagi aku bertanya. Aku berjanji untuk terakhir kalinya. Ia masih terdiam. Aku melangkah meninggalkan.

" Aku juga berpikir ini hari terakhir," ujarnya di belakangku. Langkahku terhenti.

" Aku mau menghabiskan hari ini, sama kamu, ga boleh?" Aku masih terdiam, berusaha tak membalikkan badan.

Langkah kakinya mendekat. Aku menahan diri tak menitikkan air mata lagi. Aku bukan wanita lemah. Itulah anggapannya tentang diriku selama ini. Apalagi hal remeh temeh seperti perpisahan ini. Aku bisa dan akan selalu bisa mengendalikan diri.

" Ini hari terakhir, Ra. Setelah berjuang sama-sama. Kita ga pernah tau kapan ketemu lagi." Ulangnya lagi. Tepat di belakangku. Kata-kata itu, menyakitkan. Tapi, aku membalikkan badan.

"Mau kemana?" Aku berusaha tersenyum semanis dan sewajar mungkin.

" Ga kemana-mana. Di sini, nyaman," matanya seakan mendekapku. Tatapan ini, tak pernah aku lihat. Ada apa? Hatiku masih bertanya.

" Di sini, Ra. Ga ada hari terakhir, ga ada pisah-pisah. Di sini, selamanya," tangannya meraih tanganku, menempatkan tepat di dadanya. Genggaman itu begitu kuat. Mentransfer energi. Sesuatu yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Inikah energi yang selama ini bersembunyi? Tersimpan rapi?

" Aku masih ingat betul mata kamu di mobil waktu itu, saat kita ga lagi sama-sama. Aku menganggapnya lebay, sok tegar. Hari ini juga niatnya begitu. Tapi, hari ini kita akan benar-benar pisah. Ga lagi sementara. Aku takut menyesal. Sebelum terlambat. Boleh kita sama-sama terus?"

"Maksudnya?"

" Ga bisa aku ngomongnya," wajahnya memerah.

Aku tersenyum. Tak pernah aku melihatnya salah tingkah seperti ini. Genggaman ini terasa begitu nyaman. Kenyamanan yang mati-matian aku lawan. Takut menyakiti diri sendiri. Tapi, sampai kapan membohongi hati? Aku menggenggamnya balik.

" Berasumsi ga baik untuk kesehatan hati"

Dia cepat-cepat mengangguk.

" Aku sayang kamu dan izinkan aku melakukannya lebih lama lagi." Senyumnya mengembang. Menampilkan barisan gigi dengan gigi gingsulnya yang mengintip. Malu-malu. Sama seperti si empu.

"Boleh kan?" Ia memastikan.

" Keliatannya?"

" Engg.."

" Selalu, buat kamu," aku memotong keraguannya. Aku tersenyum. Mengangguk.

Dan, hari itu tak jadi berakhir. Aku bernafas lega. Ketakutan akan kehilangan orang yang aku kasihi setiap hari, sementara tertunda. Entah sampai kapan. Yang pasti, ketika waktunya tiba, aku akan pasrah. Karena salah satu dari kita, akan menutup mata, kembali kepada yang sebenar-benarnya memiliki kita. Di saat itu, aku akan berserah.

Ciputat, 23 Februari 2016 @maizankn

Refleksi Hujan



Malam ini dingin. Di luar jendela, hujan mulai turun. Petir bulan Februari memang selalu menggelegar. Mengetarkan hati bagi yang mendengar. Aku sedang di bawah lampu belajar, di tengah kamar yang gelap, sengaja aku matikan. Aku ingin merenungkan sesuatu, berteman sejenak bersama sendu. Satu persatu lembar foto itu aku buka kembali, aku harap aku cukup tangguh tak membasahi pipi.

Beberapa tahun ini adalah waktu yang singkat. Di tengah hikuk pikuk ujian akhir yang mendebarkan, aku yakin tak ada satu pun yang sadar. Minggu ini adalah minggu terakhir. Ya, minggu terakhir. Minggu terakhir sebagai satu angkatan.

Aku ingin menulis banyak. Merangkai kata mengenang kebersamaan di puluhan minggu yang dihabiskan dalam tawa juga air mata. Ingin merekam semua peluh yang pernah membesarkan kita, mendidik kita dalam macam-macam persoalan, yang akhirnya selalu bisa kita selesaikan. Aku ingin meninggalkan jejak, ketika nanti, di masa depan, suatu saat kita rindu, ada sesuatu yang bisa mengantarkan pada masa lalu. Tempat paling jauh.

Tapi aku tidak bisa. Tanganku lumpuh. Tak bisa aku bercerita tentang hari-hari kemarin yang telah dilewati. Hanya mataku yang memandang jauh. Menggambar tiap lekuk wajah, mentransfernya hati-hati ke pusat memori. Mengingat tegasnya garis dagu juga tatapan teduh. Dan tentu sebuah senyuman, yang entah akan aku jumpai lagi kapan. Setelah minggu ini berakhir, spontan tak lagi ada irisan kehidupan.

Wajah-wajah itu membuatku tertegun tadi pagi. Di bawah cahaya remang malam ini, aku hanya ingin berbagi. Bahwa, di balik semua cerita, entah itu sedih atau bahagia, entah itu membuatku muak atau jengah, entah itu berbentuk kecewa atau sukacita, aku selalu bersyukur Allah menempatkanku di tempat ini. Bertemu orang-orang ini. Sebuah keluarga kecil dari kumpulan anak muda yg kadang waras, kadang juga sakit jiwa. Anak-anak muda yang bisa mengajakku bermain seperti anak kecil, sekaligus dewasa dalam berpikir. Sebuah tim yang hebat, yang akan aku ceritakan kelak pada anak-anak.

Ada kelebatan bayang di kepala. Ingin tumpah di atas meja. Tapi, aku lelah. Cukup, aku simpan saja, biar esok lusa bisa aku putar rekamannya.
Malam kian dingin. Petir masih bernyanyi. Aku tutup album foto ini. Cepat-cepat aku sudahi, sebelum sesuatu mengalir deras di pipi.




#biarlah tulisan ini rasanya penuh kegalauan, tapi ini hanya sekedar bentuk penghargaan bahwa kita pernah saling belajar dan mengajarkan. Dan itu akan terus mengendap dalam ingatan ☺

Mimpi. Asa. Cinta


Ada banyak hal yang tidak terduga. Ada fase-fase hidup yang rasa-rasanya seperti roller coaster sejak usiaku memasuki angka 2. Naik turun, bahkan terjun. Berulang terus, seakan sedang mendidikku menjadi manusia utuh. Aku tidak pernah tahu, lahirnya anak yang tiba2 ini (baca: MAC -sebutan untuk buku Mimpi. Asa. Cinta), masuk kategori fase apa, sebagai ujian atau hadiah, tapi sungguhlah ini sebuah karunia luar biasa. Ada tanggungjawab yang menyertai akan kehadirannya.

Kembali mengingat masa kecil dulu, saat setiap Kamis sore, ibu membawa Majalah Bobo. Bermimpi namaku bisa tercetak di salah satu halamannya, mengapply berulang kali untuk ikut konferensi anak yang tidak pernah diterima, sampai waktu berjalan jauh membawa mimpi itu. Mimpi masa kecil yang hanya ingin menulis di rubrik "Arena Kecil" dibuat sedemikian indah dalam sebuah buku. Memang selalu ada waktu yang tepat. Semalam, ketika aku berbincang dengan seorang teman, ia mengingatkan bahwa waktu yang tepat bukan urusan kita, jangan sok-sokan menerka. Banyak pasrah, itu tanda kita masih beriman kepadaNya.

Dan, 2015 merupakan waktu yang tepat sepertinya. Di awal tahun, dibuka dengan pengalaman yang luar biasa. Tuntutan pekerjaan dan pendidikan di dunia kedokteran yang sempat membuatku "hilang", dibelokkan begitu indah oleh Yang Kuasa. Aku menulis draft buku seperti kesetanan, jauh dari kebiasaan. Padahal selama aku terjun di dunia kepenulisan, paling anti dengan namanya draft panjang. Mentok-mentok artikel kesehatan yang mampu berlembar-lembar.

Sebulan tepat, aku masih ingat saat itu di depan kaca besar di lantai 6 Gedung Teratai, aku memberanikan diri menawarkan naskah yang baru 5 menit yang lalu, jadi. Kenekatan anak muda yang tak tahu malu, penulis baru, tapi takdir tidak pernah ada yang tahu. Gayung bersambut, menjelang akhir tahun Mimpi. Asa. Cinta dapat aku pegang dalam bentuk nyata. Rasa-rasanya kala itu aku memang norak, tapi biarlah, aku tidak kehilangan jiwa khas anak mudanya. Ini buku pertama!! ☺

MAC adalah sebuah perjalanan bagiku. Perjalanan menenangkan hatiku, untuk menemui jiwaku yang sempat hilang kala itu. Tuhan sangat berbaik hati, membelokkanku tetap di jalan positif, yaitu menulis. Ketika aku ragu akan niat memilih jalan, MAC menjadi pengingat bahwa jalan di dunia kesehatan salah satu jalan mulia untuk mencapai surga. Bukankah kita kehidupan ini semata-mata untuk mencari bekal perjalanan selanjutnya?

MAC adalah cara berterimakasihku pada Tuhan akan kesempatan merangkai kata, terimakasihku pada jalan takdir yang telah dipilihkanNya. Juga pengingat bahwa banyak orang, keluarga juga teman yang pernah berarti di dalam hidupku. Yang selalu memberi kasih sayang yang mungkin tidak terucapkan, tapi berwujud tindakan. Yang kehadirannya baik secara simultan atau hanya sebentar, memberiku banyak pelajaran untuk direnungkan. Ke depannya, membuatku lebih positif menjalani kehidupan.

Akhirnya, MAC adalah saranaku berbagi tentang dunia yang aku geluti. Yang memaksaku bangun pagi, terjaga dini hari, atau hal-hal yang tidak pernah orang lain ketahui. Sumbangsih kecil untuk profesi yang aku jalani. Dunia kesehatan atau pendidikan kedokteran yang katanya begitu wow, nyatanya tetap ada kekurangan di sana sini. Melalui MAC, semoga ada pemahaman baru bagi semua pihak. Baik calon dokter, dokter, masyarakat, terlebih pemerintah. Waktu yang singkat dalam menuliskannya, adalah bentuk spontan suara hati, yang semoga akan sampai ke hati juga bagi yang membacanya.

Akhirnya, bagi siapa pun yang telah membaca MAC, terselip harapan, apa yang pernah dituliskan membawa berkah, sebagai ilmu yang bermanfaat. Yang semoga bisa membawa pemahaman untuk terus saling menghargai lintas profesi. Terus bersemangat membangun negeri, di bidang apapun yang kita tekuni

Teman2 yang mau mendapatkan MAC tersedia di TB Gramedia atau di gramedia.com
Happy reading 😊

F/F



LOST - MICHAEL BUBLE

Can't believe it's over, I watched the whole thing fall
And I never saw the writing that was on the wall
If I only knew the days were slipping past
That the good things never last, that you were cryin'

Mmm, summer turned to winter and the snow it turned to rain
Then the rain turned into tears upon your face
I hardly recognize the girl you are today
And God, I hope it's not too late, mmm, it's not too late

'Cause you are not alone, I'm always there with you
And we'll get lost together till the light comes pouring through
'Cause when you feel like you're done and the darkness has won
Babe, you're not lost
When your world's crashing down and you can't bear the thought
I said, "Babe, you're not lost"

Life can show no mercy, it can tear your soul apart
It can make you feel like you've gone crazy but you're not
Though things have seemed to change, there's one thing tha'ts still the same
In my heart, you have remained and we can fly, fly, fly away

'Cause you are not alone and I am there with you
And we'll get lost together till the light comes pouring through
'Cause when you feel like you're done and the darkness has won
Babe, you're not lost
And the world's crashing down and you cannot bear the cross
I said, "Baby, you're not lost"
Mmm, yeah, yeah, yeah, yeah
I said, "Baby, you're not lost"
I said, "Baby, you're not lost"
Ooh, yeah, yeah
I said, "Baby, you're not lost"
I said, "Baby, you're not lost"



ada beberapa bayang yang berkelebat saat aku mendengarkan lagu ini. Lagu yang lirik-liriknya sudah kamu lakukan, jauh sebelum aku mengartikan barisan baitnya. mataku mulai membasah, dan semakin aku bermain dengan bayangmu, akan menghadirkan haru yang teramat biru.

Terimakasih atas tahun-tahun yang luar biasa. ya, kamu tahu semua cerita bagai sebuah drama. yang selalu kamu bilang, selalu ada hikmah, karena Tuhan adalah penulis skenario terbaik untuk umatNYA. kamu yang selalu mengajakku kembali, jika mulai berjalan terlalu jauh. mengajakku kembali pada jalan KuasaNYA dimana kita tidak boleh menerka. karena hidup umat manusia adalah sebuah rahasia. 

aku akan baik-baik saja,  begitu katamu setiap aku mengeluh. aku hanya terlalu mengasihini diri sendiri, padahal katamu, aku bisa tak begitu. kamu tahu, bahwa aku tak akan kalah dengan semua yang terjadi, dan akan tetap berdiri. kamu percaya bahwa aku benar-benar trah jawara sejati.

jika seseorang pernah berkata "words speak louder than a mouth", aku mengamini.
lebih lagi, sebuah tepukan keyakinan di pundak, sebuah senyum kasih sayang dan tatapan yang meyakinkan, akan menjadi pelipur ketika kamu tak ada. ketika aku mulai kalah dan menyerah.

dan di kebersamaan yang menegarkan, menguatkan dan mengingatkan akan kebaikan ini, akhirnya aku percaya,
bahwa sahabat itu, 
ada.