Cerpen : tentang sederhana
"Aku ingin hidup sederhana, menjalani hidup dengan sederhana"
Aku terdiam. Dia melanjutkan.
"Terutama bersama orang yang sederhana, walau dia tau bisa jumawa, entah ilmu atau harta"
Saat itu, aku ingat betul malam itu malam Jumat dan kami duduk di teras. Berdua kami memeluk lutut, berhadapan. Dari atap, tetes hujan mulai terdengar. Aku urungkan niat untuk pulang, dia pun sedikit memaksaku untuk bertahan. Jangan pulang, kamu bisa juga sakit kehujanan, katamu kala itu.
Aku juga ingat, saat itu aku mencelanya dengan 2 kata "terlalu pasrah". Dan 2 kata itu membuka malam menjadi enggan berakhir. Kami beradu pandangan hidup, macam2 filosofi dan cerita masa lalu yang membawa kami pada pemahaman hidup yang kami anut sekarang. Ah, sungguh tak banyak perbedaan. Ada kegetiran yang walau beda tema, selalu ada celah mengisi diantaranya. Layaknya rem dan gas yang berganti peran, menjaga mobil tidak jatuh ke dasar jurang.
Di akhir bicara, kami sepakat bahwa kesederhanaan hidup akan selalu membawa keselamatan. Mencegah hawa nafsu berlari liar tak karuan. Menghindarkan langkah jatuh terperosok dalam. Tapi sederhana tidak berlaku dalam berusaha dan menyebar manfaat. Usaha haruslah mewah agar tercipta manfaat dan kebaikan yang terus menerus mengalir untuk umat.
Sebelum pulang, dia berpesan, setinggi apapun nanti kami terbang, tetaplah hati merendah dan jangan berubah. Aku mengangguk, mengiyakan. Aku melihat matanya, hatiku hangat. Di malam yang sederhana itu, diam-diam aku mengamini doanya.
Dan malam ini, saat waktu sudah melangkah begitu jauh, hatiku bicara,
doa yang sama.
Semoga di langit sana, doa-doa kecil ini, disatukan dalam pertemuan yang sederhana, namun penuh makna.
Ciputat, 25 April 2016 00:39 @maizankn
Luar biasa...
ReplyDelete