Ketika hidup adalah keyakinan dan perjuangan
Allah always with us

Cerpen Coret - Coret Senja


" Ada apa?" Ujarku sambil mengusap wajah, menyembunyikan segenang air mata.
Ia menggeleng, hanya duduk di sampingku. Tangannya menyodorkan sebuah kaleng kopi. Klasik, rasa favoritku. Matahari senja hari itu sepertinya menutup rangkaian hariku dengannya. Aku tak ingin terlihat sedih, biar bagaimana pun juga, kehidupan akan berlanjut. Di jalannya masing-masing.

" Ada apa?" Aku kembali bertanya. Sungguh aku tak mau menutup hari ini di sampingnya. Berdua.
Ia masih terdiam. Memandang jauh, entah apa. Di taman yang selalu tenang ini, aku bisa mendengar jelas helaan nafasnya yang ia eja satu-satu. Ada sesuatu yang sedang ia pikirkan. Matanya tak berbohong. Aku kenal betul.

" Aku mau pulang ya," ujarku beranjak. Aku menahan sesak di dada. Rasanya mau pecah. Aku tak mau mengingatnya. Aku tak mau hari terakhirku di tempat ini dipenuhi dengan bayang wajahnya. Walau aku sangat mengingini, tapi aku tahu di hari esok hal ini akan menyakiti. Aku pandai mengenang, aku tak mau hidup dalam ingatan. Terutama kebersamaan dengannya.

Tanganku tertahan. Aku refleks melepaskan. Wajahnya berpaling. Aku berusaha tegar, juga bersikap wajar.
" Ada apa?" Sekali lagi aku bertanya. Aku berjanji untuk terakhir kalinya. Ia masih terdiam. Aku melangkah meninggalkan.

" Aku juga berpikir ini hari terakhir," ujarnya di belakangku. Langkahku terhenti.

" Aku mau menghabiskan hari ini, sama kamu, ga boleh?" Aku masih terdiam, berusaha tak membalikkan badan.

Langkah kakinya mendekat. Aku menahan diri tak menitikkan air mata lagi. Aku bukan wanita lemah. Itulah anggapannya tentang diriku selama ini. Apalagi hal remeh temeh seperti perpisahan ini. Aku bisa dan akan selalu bisa mengendalikan diri.

" Ini hari terakhir, Ra. Setelah berjuang sama-sama. Kita ga pernah tau kapan ketemu lagi." Ulangnya lagi. Tepat di belakangku. Kata-kata itu, menyakitkan. Tapi, aku membalikkan badan.

"Mau kemana?" Aku berusaha tersenyum semanis dan sewajar mungkin.

" Ga kemana-mana. Di sini, nyaman," matanya seakan mendekapku. Tatapan ini, tak pernah aku lihat. Ada apa? Hatiku masih bertanya.

" Di sini, Ra. Ga ada hari terakhir, ga ada pisah-pisah. Di sini, selamanya," tangannya meraih tanganku, menempatkan tepat di dadanya. Genggaman itu begitu kuat. Mentransfer energi. Sesuatu yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Inikah energi yang selama ini bersembunyi? Tersimpan rapi?

" Aku masih ingat betul mata kamu di mobil waktu itu, saat kita ga lagi sama-sama. Aku menganggapnya lebay, sok tegar. Hari ini juga niatnya begitu. Tapi, hari ini kita akan benar-benar pisah. Ga lagi sementara. Aku takut menyesal. Sebelum terlambat. Boleh kita sama-sama terus?"

"Maksudnya?"

" Ga bisa aku ngomongnya," wajahnya memerah.

Aku tersenyum. Tak pernah aku melihatnya salah tingkah seperti ini. Genggaman ini terasa begitu nyaman. Kenyamanan yang mati-matian aku lawan. Takut menyakiti diri sendiri. Tapi, sampai kapan membohongi hati? Aku menggenggamnya balik.

" Berasumsi ga baik untuk kesehatan hati"

Dia cepat-cepat mengangguk.

" Aku sayang kamu dan izinkan aku melakukannya lebih lama lagi." Senyumnya mengembang. Menampilkan barisan gigi dengan gigi gingsulnya yang mengintip. Malu-malu. Sama seperti si empu.

"Boleh kan?" Ia memastikan.

" Keliatannya?"

" Engg.."

" Selalu, buat kamu," aku memotong keraguannya. Aku tersenyum. Mengangguk.

Dan, hari itu tak jadi berakhir. Aku bernafas lega. Ketakutan akan kehilangan orang yang aku kasihi setiap hari, sementara tertunda. Entah sampai kapan. Yang pasti, ketika waktunya tiba, aku akan pasrah. Karena salah satu dari kita, akan menutup mata, kembali kepada yang sebenar-benarnya memiliki kita. Di saat itu, aku akan berserah.

Ciputat, 23 Februari 2016 @maizankn

0 comments: